Selama ini, demensia dikenal dengan penyakit pikun atau penyakit orang tua. Anggapan ini tak sepenuhnya salah, tapi juga tak 100 persen benar. Faktanya, demensia lebih dari sekadar pikun.
Demensia merupakan kumpulan gejala atau sindrom berupa penurunan fungsi kognitif seperti daya ingat, daya pikir, kemampuan berbahasa, mengenali benda-benda, dan orientasi.
Sindrom ini muncul dengan parah sehingga mengganggu aktivitas dan orang di sekitarnya. Gejala itu juga menyebabkan gangguan perilaku dan kepribadian. Kumpulan gejala ini disebabkan oleh suatu penyakit seperti alzheimer, stroke, parkinson, dan sebagainya. Kasus yang paling banyak ditemui adalah demensia akibat alzheimer.
"Jadi pikun itu istilah orang awam, demensia istilah kedokteran. Orang awam menilai pikun hanya lupa ingatan saja. Demensia lebih dari sekadar pikun karena ada gejala penurunan fungsi kognitif dan gejala perilaku," kata ahli kejiwaan yang fokus pada gangguan demensia, dr Martina Wiwie, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (19/9).
Gejala penurunan fungsi kognitif itu terjadi akibat adanya kerusakan pada jaringan otak. Kerusakan ini berlangsung dalam waktu yang lama.
Saat ini, estimasi jumlah orang dengan demensia (ODD) di Indonesia mencapai 1,2 juta orang. Martina menyebut, kebanyakan ODD tak mendapat perawatan dan berujung hilangnya nyawa lantaran kecelakaan atau infeksi komplikasi penyakit lain.
Tahapan demensia
Pada tahap awal, gejala demensia yang timbul berupa lupa ingatan. Lupa ini muncul sangat sering dan menganggu kegiatan. Biasanya, lupa yang muncul terkait dengan peristiwa yang baru terjadi.
"Misalnya, lupa sudah makan padahal baru makan, lupa sudah mandi padahan baru mandi," ujar Martina mencontohkan.
Tak cuma itu, ODD juga bisa tak mampu mengingat hal-hal dasar seperti nama benda dan kesulitan berbahasa. Perlahan, mereka juga bakal mulai kesulitan dalam berkegiatan.
"Misalnya, memakai baju jadi susah, memasukan kaki ke sepatu jadi lama sekali," ujar Martina.
Lebih jauh, kemampuan berpikir ODD juga ikut menurun dan membuat mereka keliru dalam mengambil keputusan. "Misalnya, untuk mendinginkan setrika mereka memasukkannya ke dalam kulkas," kata Martina.
Berbagai bentuk ketidakmampuan mengingat ini bisa berujung pada depresi, delusi, dan halusinasi. Kondisi lupa memaksa ODD memikirkan hal lain yang tak terekam atau hilang dalam memorinya.
Pada tahapan yang lebih parah, ODD bakal kesulitan berbicara. Akibatnya, mereka memilih untuk berdiam diri. Perlahan, mereka tak lagi bisa menahan emosi dengan baik.
"Mereka bisa menuduh orang mencuri, marah-marah, semakin agresif, dan disorientasi atau lupa arah," tutur Martina.
Kondisi yang sangat parah dapat membuat ODD hanya dapat berbaring di tempat tidur karena fungsi otak yang makin merosot.
Bak orang dewasa yang kembali menjadi bayi, ODD bakal mengalami kemunduran fungsi mental. Martina mengibaratkan berbagai tingkatan demensia dengan balita. Demensia ringan serupa dengan anak 5 tahun, demensia sedang seperti anak 3 tahun, dan demensia berat terlihat seperti bayi di bawah 1 tahun.
Comments
Post a Comment